Baleg Minta Masukan Akademisi Terkait RUU Daerah Kepulauan
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta masukan-masukan para Akademisi terkait dengan akan dibahasnya Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan. RUU ini merupakan salah RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2011 yang harus segera dilakukan pembahasan.
Rapat Dengar Pendapat Umum yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Ida Fauziah, siang itu, Rabu (5/9) mengundang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Niette V. Huliselan Guru Besar Universitas Patimura dan Ganewati Wuryandari.
Ida mengatakan, latar belakang pembentukan UU ini adalah tingkat kesejahteraan di daerah kepulauan yang sangat rendah disebabkan keterbatasan masyarakat dalam menjangkau hasil-hasil dari pembangunan.
Selain itu, keterbatasan dana yang dialokasikan pemerintah pusat (DAU/DAK) karena perhitungan dalam mendapatkan porsi dana didasari oleh luasnya wilayah daratan bukan lautan sebagai satu kesatuan wilayah.
Ida menambahkan, dalam Prolegnas RUU Prioritas 2011 nama RUU ini tertulis RUU tentang Perlakukan Khusus Provinsi Kepulauan. Untuk menghasilkan RUU yang komprehensif, Baleg mengundang berbagai kalangan yang terkait dengan RUU ini untuk dapat memberikan masukan-masukan.
Dalam memberikan masukannya Rokhmin Dahuri mengingatkan perlunya sinkronisasi dengan UU yang ada terkait dengan Daerah Kepulauan. UU itu diantaranya adalah, UU No. 17/1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut PBB (Unclos) 1982, tidak dikenal provinsi (daerah) kepulauan dalam suatu negara.
Selain itu, katanya, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Rokhmin mengusulkan , RUU tentang Daerah Kepulauan ini sebaiknya tidak dibuat dalam bentuk UU. Jika DPR tetap akan meneruskan pembahasan RUU ini ada dua skenario yang diajukannya.
Skenario pertama, menyempurnakan materi yang ada dalam Draft RUU Daerah Kepulauan. Skenario ke dua, nama RUU tersebut diganti menjadi RUU Kawasan Ekonomi Khusus Daerah Kepulauan atau RUU Percepatan Pembangunan Pulau-pulau Kecil.
Nama ini menurut Rokhmin lebih tepat dan tidak tumpang tindih dengan UU yang sudah ada. Skenario ini dipakai dengan meneladani (adopsi) model pembangunan kawasan ekonomi khusus (Special Economic Zone) di China.
Sementara Niette V. Huliselan mengatakan, daerah kepulauan merupakan bagian dari NKRI yang memiliki karakteristik khusus yang membutuhkan penanganan yang berbeda dengan daerah kontinental.
Realitas daerah kepulauan tersebut membutuhkan solusi-solusi dalam pengaturannya. Oleh sebab itu, pengaturan secara khusus tentang daerah Kepulauan perlu dilakukan segera.
Menurut Niette, penyamaan karakteristik daerah berbasis daratan dan kepulauan dapat menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan antar daerah. Dia juga melihat, kewenangan daerah di wilayah laut belum diatur secara substansial untuk mencapai tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Namun dia juga mengingatkan, jangan sampai terjadi tumpang tindih RUU ini dengan UU yang sudah ada sebelumnya.
Ganewati Wuryandari dalam memberikan masukannya menegaskan, Daerah Kepulauan tidak perlu diatur dalam Undang-undang. Menurut pendapatnya, di sini yang diperlukan adalah PP untuk mengoperasionalisasikan dari Pasal-pasal tersebut.
Pandangan ini berdasarkan pemikiran apakah kehendak untuk “perlakuan khusus daerah kepulauan” harus perlu diberi kerangka hukum dalam bentuk UU. Karena UU 32/2004 pasal 18 jelas telah memberikan kewenangan pengelolaan wilayah laut. Harmonisasi dan keserasian peraturan perundangan perlu dilakukan agar tidak ada tumpang tindih.
Selain itu, apakah nantinya keberadaan UU Daerah kepulauan ini tidak akan menyebabkan adanya paradigma bahwa Indonesia terdiri atas provinsi/kabupaten/kota kepulauan dan propinsi/kabupaten/kota daratan. Padahal, katanya, sejarah panjang memperlihatkan kerja keras diplomasi kita untuk mendapatkan pengakuan masyarakat internasional akan eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan.
Dalam membahas RUU ini, Ganewati mengingatkan Baleg perlunya kehati-hatian dan perlunya studi yang lebih mendalam. Baginya, RUU ini terlalu dini diajukan karena perlu pemikiran lebih mendalam dan membutuhkan waktu yang panjang jika ingin mencari solusi bagi daerah kepulauan. (tt)